Mengapa pada saat gerhana, baik itu gerhana matahari atau gerhana bulan, kita melaksanakan sholat gerhana? Sebentar lagi (Rabu, 09 Maret 2016) akan terjadi gerhana matahari total, saatnya menjalankan sunnah. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa terjadinya gerhana matahari total sebagai hal yang alamiah dan wajar. Kalau dilihat dari segi pengetahuan/ilmiah memang wajar, gerhana matahari terjadi karena matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Namun, ada alasan lain kenapa melaksanakan sholat gerhana, kita ingat kembali hadits: ”Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah, maka apabila kalian melihat gerhana, maka berdo’alah kepada Allah, lalu sholatlah sehingga hilang dari kalian gelap, dan bersedekahlah.” (HR Bukhari-Muslim). Inilah dasar kenapa melaksanakan sholat gerhana. Melaksanakan shalat gerhana hukumnya sunnah muakkad. Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, ada beberapa selisih mengenai tatacaranya.
Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim)
“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari)
Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa tata cara shalat gerhana sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama, urutannya sebagai berikut.
- Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya. Namun, ada pendapat lain bahwa niat harus diucapkan. Masing-masing tentu punya dasar sendiri-sendiri. Jadi tidak perlu diperdebatkan terkait dengan niat.
- Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
- Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa: dari Ibnu Abbas ra, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah. Maka Rasulullah melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al Baqarah, kemudian beliau ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR Bukhari Muslim)
- Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
- Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan sami'allahulimanhamidah rabbanawalakal hamd
- Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
- Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
- Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
- Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
- Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
- Tasyahud.
- Salam.
- Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, dan sedekah.
~Wallahu a'lam bishshawab~